Sabtu, 21 Mei 2011

Dampak Perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi Global


Dampak Perekonomian Indonesia Pasca Krisis Ekonomi Global
A. KRISIS EKONOMI GLOBAL
Seluruh dunia telah diliputi oleh krisis financial (krisis ekonomi global), seluruh negara-negara di dunia baik itu negara maju maupun negara berkembang telah terjebak dalam kesulitan yang sangat rumit. Beberapa negara yang sebelumnya menikmati kondisi ekonomi yang kuat yang mempunyai teknologi yang canggih dalam hal ilmu pengetahuan, pangan, senjata, obat-obatan terlihat hancur perekonomiannnya. Fakta dari masalah tersebut adalah bahwa ekonomi negara-negara tersebut ditopang oleh kebijakan yang sangat rapuh yang meyebabkan collaps terkena dampak krisis ekonomi global.
Krisis finansial global yang menyebabkan menurunnya kinerja perekonomian dunia secara drastis pada tahun 2008 diperkirakan masih akan terus berlanjut, bahkan akan meningkat intensitasnya pada tahun 2009. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi.
Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian di negara-negara emerging markets dan fenomena flight to quality dari investor global di tengah krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan tekanan pada mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan mengeringkan likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara. Hal ini menyebabkan pasar valas di negara-negara maju maupun berkembang cenderung bergejolak di tengah ketidakpastian yang meningkat.
Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, meskipun Indonesia telah membangun momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas dari dampak negatif perlemahan ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan global yang mulai berpengaruh secara signifikan dalam triwulan III tahun 2008, dan second round effectnya akan mulai dirasakan meningkat intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di sisi neraca pembayaran dan neraca sektor riil, maupun sektor moneter dan sektor fiskal (APBN).
Dampak negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis perekonomian global adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen psikologis maupun akibat merosotnya likuiditas global. Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50,0 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih berlangsungnya upaya penurunan utang (deleveraging) dari lembaga keuangan global.
Krisis keuangan Amerika Serikat menyebabkan masalah global keuangan dunia, untuk mengatasi hal tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan sepuluh arahan: (1) semua kalangan tetap optimis, dan bersinergi menghadapi krisis keuangan, (2) tetap pertahankan nilai pertumbuhan enam persen, (3) optimalisasi APBN 2009, (4) dunia usaha khususnya sektor riil harus tetap bergerak, (5) semua pihak agar cerdas menangkap peluang, (6) galakkan kembali penggunaan produk dalam negeri, (7) tingkatkan sikap profesionalisme, (8) kerja sama dalam menghadapi masalah, (9) tidak melakukan langkah non partisan, (10) komunikasi yang bijak. Sementara itu Mudrajad Kuncoro (2008) mengatakan bahwa setidaknya ada dua langkah strategis dalam mengatasi dampak krisis keuangan global, yaitu Demand pull strategy dan supply push strategy. Demand pull strategy mencakup strategi perkuatan sisi permintaan, yang bisa dilakukan dengan perbaikan iklim bisnis, fasilitasi mendapatkan HAKI (paten), fasilitasi pemasaran domestik dan luar negeri dan menyediakan peluang pasar. Langkah strategis lainnya adalah supply push strategy yang mencakup strategy pendorong sisi penawaran, ini bisa dilakukan dengan ketersediaan bahan baku, dukungan permodalan, bantuan teknologi/mesin/alat, dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia.
B. PENYEBAB KRISIS EKONOMI GLOBAL
Di tengah dinamika ekonomi global yang terus-menerus berubah dengan akselerasi yang semakin tinggi sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia mengalami terpaan badai krisis yang intensitasnya telah sampai pada keadaan yang nyaris menuju kebangkrutan ekonomi.
Krisis ekonomi – yang dipicu oleh krisis moneter – beberapa waktu yang lalu, paling tidak telah memberikan indikasi yang kuat terhadap tiga hal. Pertama, kredibilitas pemerintah telah sampai pada titik nadir. Penyebab utamanya adalah karena langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam merenspons krisis selama ini lebih bersifat “tambal-sulam”, ad-hoc, dan cenderung menempuh jalan yang berputar-putar.
Selain itu, seluruh sumber daya yang dimiliki negeri ini dicurahkan sepenuhnya untuk menyelamatkan sektor modern dari titik kehancuran. Sementara itu, sektor tradisional, sektor informal, dan ekonomi rakyat, yang juga memiliki eksistensi di negeri ini seakan-akan dilupakan dari wacana penyelamatan perekonomian yang tengah menggema.
Kedua, rezim Orde Baru yang selalu mengedepankan pertumbuhan (growth) ekonomi telah menghasilkan crony capitalism yang telah membuat struktur perekonomian menjadi sangat rapuh terhadap gejolak-gejolak eksternal. Industri manufaktur yang sempat dibanggakan itu ternyata sangat bergantung pada bahan baku impor dan tak memiliki daya tahan. Sementara itu, akibat “dianak-tirikan”, sektor pertanian pun juga tak kunjung mature sebagai penopang laju industrialisasi. Yang saat itu terjadi adalah derap industrialisasi melalui serangkaian kebijakan yang cenderung merugikan sektor pertanian. Akibatnya, sektor pertanian tak mampu berkembang secara sehat dalam merespons perubahan pola konsumsi masyarakat dan memperkuat competitive advantage produk-produk ekspor Indonesia.
Salah satu faktor terpenting yang bisa menjelaskan kecenderungan di atas adalah karena proses penyesuaian ekonomi dan politik (economic and political adjustment) tidak berlangsung secara mulus dan alamiah. Soeharto-style state-assisted capitalism nyata-nyata telah merusak dan merapuhkan tatanan perekonomian. Memang di satu sisi pertumbuhan ekonomi yang telah dihasilkan cukup tinggi, namun mengakibatkan ekses yang ujung-ujungnya justru counter productive bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Ketiga, rezim yang sangat korup telah membuat sendi-sendi perekonomian mengalami kerapuhan. Secara umum, segala bentuk korupsi akan mengakibatkan arah alokasi sumber daya perekonomian menjurus pada kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan tidak memberikan hasil optimum. Dalam kondisi seperti ini pertumbuhan ekonomi memang sangat mungkin terus berlangsung, bahkan pada intensitas yang relatif tinggi. Namun demikian, sampai pada batas tertentu pasti akan mengakibatkan melemahnya basis pertumbuhan.
Selanjutnya, praktik-praktik korupsi secara perlahan C tapi pasti C telah merusak tatanan ekonomi dan pembusukan politik yang disebabkan oleh perilaku penguasa, elit politik, dan jajaran birokrasi. Keadaan semakin parah ketika jajaran angkatan bersenjata dan aparat penegak hukum pun ternyata juga turut terseret ke dalam jaringan praktik-praktik korupsi itu.
Hancurnya kredibilitas pemerintah yang dibarengi dengan tingginya ketidakpastian itu telah menyebabkan terkikisnya kepercayaan (trust). Yang terjadi dewasa ini tidak hanya sekadar pudarnya trust masyarakat terhadap pemerintah dan sebaliknya, melainkan juga antara pihak luar negeri dengan pemerintah, serta di antara sesama kelompok masyarakat. Yang terakhir disebutkan itu tercermin dengan sangat jelas dari keberingasan massa terhadap simbol-simbol kekuasaan serta kemewahan dan terhadap kelompok etnis Cina, seperti yang dikenal dengan peristiwa Mei 1998.
Sementara itu, krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dilihat dari respons masyarakat yang kerap kali berlawanan dengan tujuan kebijakan yang ditempuh pemerintah. Misalnya, kebijakan pemerintah yang seharusnya berupaya menggiring ekspektasi masyarakat ke arah kanan, justru telah menimbulkan respons masyarakat menuju ke arah kiri, dan sebaliknya. Faktor lainnya adalah semakin timpangnya distribusi pendapatan dan kekayaan, sehingga mengakibatkan lunturnya solidaritas sosial.
C. DAMPAK YANG DITIMBULKAN OLEH KRISIS EKONOMI GLOBAL
    1. Dampak Perekonomian Global terhadap APBNP 2008
Asumsi inflasi dalam APBNP 2008 yang ditetapkan sebesar 6,5%, menurut Adiningsih (Ekonom dari Universitas Gajah Mada) dalam harian Suara Karya (16/4-08), dapat melebihi 10% akibat tekanan berat dari kondisi perekonomian global yang berada di luar kendali pemerintah. Adiningsih mengemukakan bahwa seharusnya pemerintah menyusun APBN secara konsevatif , karena apabila APBN dirubah terus, tentu akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Dia juga mengungkapkan bahwa dunia usaha juga tergantung pada pengelolaan dan realisasi APBN. Apabila APB tidak konsisten, dipastikan dunia usaha akan sulit tumbuh, sehinga sulit diharapkan pertumbuhan ekonomi yang tiggi. Mengenai besaran asumsi inflasi dalam APBNP, menurutnya tidak masuk akal, karena pada akhir tahun 208 terdapat beberapa hari raya yang sudah pasti akan memicu inflasi lebih tinggi. Disamping itu harga minyak mentah yang masih akan melambung dan harga pangan dunia yang meroket. Hal ini akan mempengaruhi harga komoditias di dalam negeri. Tidak semua komoditas dapat dikendalikan oleh pemerintah. Tambahan lagi, banyak barang impor termasuk yang illegal masuk ke ke pasar Indonesia. Hinga akhir tahun ini diperkirakan gejolak pasar Keuangan dunia belum akan reda. Seandainya Amerika Serikat meningkatkan suku bunga kredit, akan berdampak terhadap Indonesia dan dikhawatirkan inflasi akan melebihisatudigit.
Dalam menghadapi situasi perekonomian global yang tidak pasti, Raden Pardede (salah satu calon gubernur BI yang ditolak DPR) mengemukakan pendapatnya bahwa pemerintah harus membatasi besaran anggaran untuk subsidi. Menurutnya, dengan asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 95 per barel, total subsidi mencapai sekitar Rp 33 triliun. Jika harga minyak ternyata lebih dri U$$ 100 per barel, diperkirakan lebih dari 30% anggaran belanja habis untuk subsidi, bagaimana dengan sektro yang lain, katanya.
Berkaitan dengan kekurangan dana dalam APBN pasti dicarikan melalui pembiayaan yang salah satunya adalah dengan penerbitan Suat Utang Negara (SUN) disesuaikan dengan melihat kemampuan pasar untuk menyerapnya. Tetapi, jika subsidi tidak dibatasi, investor akan khawatir mengnenai kemampuan negara dalam melakukan pembayaran. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan rendahnya daya serap SUN.
Pendapat dari kedua pengamat ekonomi tersebut perlu diperhatikan sebagai informasi untuk mewaspadai bahwa kondisi perkonomian dunia yang saat ini sedang bergolak penuh ketidak pastian akan berdampak terhadap tingkat inflasi, alokasi anggaran untuk subsidi dan daya serap SUN untuk pembiayaan deficit APBN. Namun demikian, apabila dalam perjalanannya asumsi-asumsi dalam APBNP 2008 meleset jauh dari kenyataan, pengamat ekonomi tidak seharusnya semata-mata menyalahkan pemerintah, karena APBN-P 2008 tersebut merupakan hasil pembahasan dan kesepakatan antara pemerintah dengan DPR. Tambahan lagi, jika asumsi dalam APBNP tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi perekonomian, mau tidak mau APBNP 2008 harus direvisi kembali.
D. CARA MENGATASI KRISIS EKONOMI GLOBAL
Mengatasi Penyebab dan Dampak Krisis Ekonomi Global masih menjadi berita hangat tanpa melewati 1 (satu) hari pun dalam bulan-bulan terakhir ini. Berbicara krisis ekonomi adalah bukan berbicara tentang nasib 1 (satu) orang bahkan lebih dari itu semua karena ini menyangkut nasib sebuah bangsa. Berbagai argument dan komentar pun dilontarkan di berbagai media yang selalu memojokkan pemerintahan Yudhoyono dan BI (Bank Indonesia) Di salah satu media menyatakan bahwa Presiden Yudhoyono menyampaikan 10 langkah untuk menghadapi masalah tersebut. Empat di antaranya:
1. Meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri
2. Memanfaatkan peluang perdagangan internasional
3. Menyatukan langkah strategis Pemerintah dengan Bank Indonesia (BI)
4. Menghindari politik non partisan untuk menghadapi krisis.
Kedengarannya memang masuk akal tapi untuk menghadapi krisis itu bukanlah semata adalah tugas pemerintah dan Bank Indonesia tapi badai krisis ini perlu dihadapi bersama jangan sampai kejadian Krisis Ekonomi Global Part II ini lebih dahsyat meluluh-lantakkan Perekonomian Indonesia seperti yang telah terladi pada Badai Krisis Moneter Part I di Era Soeharto.
Sadar atau pun tidak sadar Akibat Krisis Ekonomi Global kali in sudah sangat jauh merambah dalam berbagai strata masyarakat. Dimana-mana pengangguran semakin bertambah Income perkapita drastis menurun karena beberapa industri mulai merampingkan tenaga-kerja atau mulai meliburkan tenaga kerja tanpa batas waktu. Senada dengan hal itu investor-investor lokal dan Asing pun mulai  menarik saham dalam industri-industri di Indonesia. Dari kejadian kejadian itu akan menjadikan peluang untuk Angka Kriminalitas akan melonjak naik Grafiknya di tanah air belum lagi kasus-kasus korupsi terbaikan karena bangsa ini telah disibukkan dengan masalah yang lebih di prioritaskan sehingga dengan bebasnya para koruptor meneruskan aksinya ditiap jenjang. “Selamat buat para koruptor Anda bisa keluar dari persembunyain untuk sementara Waktu. How pity a Country !”
Memang sangat Ironis di satu sisi Indonesia yang dikenal sebagai negara Agraris tapi disisi lain beberapa item bahan pokok masih mengandalkan hasil import dari negara tetangga. Yah ini mungkin salah satu kelemahan dari bangsa kita bahkan diri kita yang sebagai rakyat yang kurang berusaha secara profesional dalam mengelola asset-asset yang ada dalam lahan-lahan indonesia. Lihat saja kekayaan Alam Indonesia mulai dari hasil laut belum dapat dikelola dengan baik karena Fasilitas-fasilitas nelayan kurang memadai sehingga negara-negara lain meraup keuntungan dari hasil menangkap hasil laut dengan cara yang tidak fair. Belum lagi persediaan minyak yang semakin lama semakin menipis serta Tambang-tambang Emas yang masih dikuasai negara asing. Jadi sangat disayangkan Punya Harta yang sangat berlimpah ruah tapi tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh bangsa ini.
Jadi memanglah pas ketika Ketua Presidium Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI ) menyatakan bahwa Krisis ekonomi global telah terjebak pada sistem kapitalisme internasional sehingga sampai saat ini sepertinya tak ada persiapan jelas menghadapi krisis keuangan global yang berawal dari runtuhnya industri keuangan di Amerika Serikat. Mereka yang krisis kita yang ”hancur-hancuran” seperti pada bursa saham sehingga menghentikan operasionalnya.
Dan kesimpulannya Indonesia belum siap menghadapi Dampak Krisis Ekonomi Global yang di motori oleh Negara Super itu. Mungkin dari beberapa uraian diatas dapat memberi gambaran bahwa kita punya potensi menghadapi krisis ini jika kita meningkatkan kesadaran sebagai masyarakat indonesia termasuk element pemerintah berikut departement terkait untuk meningkat pengelolaan sumber daya secara profesional sehingga bangsa ini menjadi produktif dalam penyediaan hasil bumi dan dapat mandiri serta terbebas sebagai negara importir bahan pangan dan minyak bumi terbesar yang akan membalikkan keadaan menjadi negara “Pengekspor Terbesar”.
E. INDONESIA DAN PEREKONOMIAN
1. Ekonomi Indonesia
Thomas R. Rumbaugh, Division Chief IMF untuk kawasan Asia Pasifik, mengatakan performa ekonomi RI selama kuartal 1/2009 dengan catatan laju PDB sebesar 4,4%, menjadi salah satu pertanda kuatnya perekonomian Indonesia dalam situasi krisis. Beliau mengungkapkan bahwa, dengan melihat itu, revisi ke atas proyeksi laju ekonomi Indonesia, sekarang laju PDB dapat tumbuh pada kisaran 3%-4% tahun ini.
Dalam laporan World Economic Outlook yang dirilis dana moneter Internasional itu pada April, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 diproyeksikan 2,5%, terendah dibandingkan dengan proyeksi lembaga penelitian dan multilateral lain. Adapun pemerintah Indonesia mematok proyeksi PDB tahun ini pada kisaran 4%-4,5%. Menurut Rumbaugh, proyeksi baru IMF dibuat dalam kisaran karena masih ada ketidakpastian dalam situasi perekonomian dunia.
Meski begitu, dana moneter yang berbasis di Washington DC itu memperkirakan tekanan inflasi 2009 di Indonesia akan terus moderat ke angka sekitar 5%. Di tengah krisis ekonomi dunia, pemerintah dan bank sentral dinilai telah cukup berhasil dalam melakukan langkah antisipasi dibandingkan dengan Negara-negara lain.
Dari sisi kebijakan moneter dan nilai tukar, IMF menilai pemangkasan BI Rate 250 basis poin sejak Desember 2008 sebagai langkah yang tepat. Akan tetapi, dari sisi fiskal dia mengingatkan pentingnya pemerintah menggenjot penyerapan belanja langsung stimulus fiskal pada periode semester II/2009. Pasalnya, kinerja ekonomi kuartal I yang cukup baik lebih didukung oleh faktor stimulus pemotongan pajak yang telah terserap dan juga pemilu legislatif.
Syahrial Loetan, sekretaris Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Sestama Bappenas, menilai revisi proyeksi laju PDB Indonesia oleh IMF menjadi lebih baik merupakan pertanda lembaga itu menyadari kesalahan proyeksi sebelumnya.
Penguatan arus dan masuk ke pasar modal ikut mengerek nilai tukar rupiah hingga menembus level Rp9.000 atau menguat 21,5% dari posisi tertinggi pada November 2008 yang mencapai Rp12.650 per dolar AS.
Penggerakan rupiah untuk pertama kalinya sejak perdagangan Oktober 2008 terapresiasi melampaui Rp10.000 setelah IHSG menguat 8 hari berturut-turut ke level 2.078,93, atau mencetak rekor kenaikan simultan terpanjang sejak periode bullish 2007.
Indeks secara kumulatif mengumpulkan 187,96 poin atau naik 9,94% dalam 6 hari terakhir, kenaikan itu lebih tinggi dari rally simultan terpanjang 29 Juni-10 Juli pada 2 tahun lalu sebesar 143,1 poin (6,7%).
2. Ekonomi Indonesia dan Demokrasi
Indonesia saat ini, tulis Boediono, masih berada pada zona resiko tinggi untuk kehidupan demokrasi. Hal ini terlihat dari segi pendapatan per kapitanya yang masih kurang mendukung terselenggaranya demokrasi secara baik. Dengan pendapatan per kapita sekitar US$3.987 (International Monetary Fund, 2008) GDP Purshasing Power Parity (PPP) per kapita Indonesia masih berada bahkan di bawah negara-negara seperti Vanuatu dan Fiji, Indonesia masih berada di zona rawan dalam demokrasik. Kenapa? Menurut penelitian, batas kritis bagi kelangsungan demokrasi di dunia adalah apabila pendapatan per kapita sebuah Negara mencapai US$6.600.
Dari sebuah studi ekonomi dan demokrasi, tercatat bahwa pada kurun 1950-1990, rezim demokrasi di Negara-negara dengan penghasilan per kapita US$1.500 (dihitung berdasarkan PPP tahun 2001) hanya mempunyai harapan hidup 8 tahun. Pada tingkat penghasilan per kapita US$1.500-US$3.000, rezim demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun dan pada tingkat pendapatan per kapita di atas US$6.000, daya hidup system demokrasi di sebuah Negara jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1:500.
Posisi Indonesia
Dengan pendapatan per kapita Indonesia yang diperkirakan sekitar US$4.000, dimana batas krisis bagi demokrasi sekitar US$6.600, maka Indonesia belum mencapai 2/3 jalan menuju batasan bagi demokrasi.
Oleh karena itu, menurut Boediono, pada tahap awal kehidupan demokrasi, Indonesia sebaiknya memberikan prioritas tertinggi bagi upaya memacu pertumbuhan ekonomi dan sejauh mungkin menghindari krisis.
Hal ini akan sangat mengurangi resiko kegagalan demokrasi. Hal terbaik yang harus dilakukan, kata Boediono, adalah secepatnya membangun perekonomian agar income per kapita bangsa Indonesia mencapai batas aman bagi pemerintah demokrasi, yaitu US$6.600.
Menurut Boediono, pertumbuhan ekonomi akan membantu tumbuhnya kelompok pembaharu dengan catatan: pertama, pertumbuhan itu menyentuh dan broad-based; dan kedua prosesnya mengandalkan kegiatan berdasarkan hasil kerja, inisiatif, dan kekuatan sumber daya manusia—bukan dengan penjualan kekayaan alam, utang luar negeri, dan “rezeki nomplok” lainnya.
3. Indonesia Cepat Lalui Krisis
Menurut Institute for Management Development (IMD), lembaga think thank dan pendidikan yang berpusat di Swiss, Indonesia seperti Negara-negara lain di Asia Tenggara, memiliki daya tahan yang cukup baik. Indonesia juga dianggap memiliki kemampuan untuk pulih dengan cepat karena telah mengalami krisis keuangan cukup parah pada 1997/1998 sehingga lebih baik dalam mengantisipasi krisis saat ini.
IMD mengatakan bahwa, Negara-negara seperti itu seringkali mampu untuk beradaptasi dan pulih pada masa sulit. Penjelasan lain adalah karena mereka telah mengalami krisis keuangan cukup parah dan krisis properti satu decade lalu dan jadi lebih waspada dalam kebijakannya.
Stress test versi IMD merupakan analisis untuk mengukur sejauh mana Negara dapat melalui krisis dan memperbaiki daya saingnya pada masa depan. Analisis dengan cakupan survey 57 negara itu mengambil Indikator proyeksi ekonomi, pemerintah, bisnis, dan masyarakat sebagai basis penilaiannya. Dari empat faktor yang dinilai dalam stress test, daya tahan Indonesia untuk indikator pemerintah berada di peringkat-26. Adapun indikator lain seperti proyeksi ekonomi, bisnis dan masyarakat, masing-masing masuk ke posisi 33,36, dan 33.
Mentri Koordinator bidang Perekonomian Sri Mulyani Indrawati optimis peringkat stress test Indonesia akan lebih baik pada tahun depan karena survey IMD dilakukan terhadap indicator ekonomi sepanjang 2008, ketika negeri ini masih diliputi dampak krisis cukup parah. Kenyataannya, katanya, kinerja perekonomian pada kuartal I/2009 dan proyeksi ekonomi RI sepanjang tahun ini lebih baik dibandingkan dengan Megara-negara lain.
Perekonomian Indonesia pada kuartal II/2009 diproyeksi sedikit melambat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, kendati secara tahunan diyakini masih akan tumbuh 4%. Direktur Perencanaan Makro Kemeneg PPN/Kepala Bappenas Bambang Prijambodo secara pribadi meyakini pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2009 masih akan positif meski tidak sebesar realisasi kuartal I/2009 yang mencapai 1,6%. Secara tahunan (year-on-year) juga demikian, dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I/2009 yang sebesar 4,4%, kemungkinan realisasi pada kuartal II/2009 lebih rendah di kisaran 4,4%. Konsumsi masyarakat masih akan menjadi pendorong utama dari pertumbuhan ekonomi kuartal II/2009 yang masih terjaga dengan adanya laksana pemilihan umum. Ekonom Indef Ikhsan Modjo, mengatakan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2009 kemungkinan akan turun sedikit karena ekspor dan investasi masih lemah.
4. Kebijakan Moneter Belum Cukup Longgar
Seiring dengan semakin terkendalinya tekanan inflasi, BI sudah menurunkan bunga acuannya dengan agresif. Pada November 2008, suku bungan acuan BI masih di level 9,5 persen. Bulan Juni ini suku bunga acuan BI sudah turun ke 7 persen. Ini adalah level terendah dalam sejarah suku bunga acuan BI. Sudah barang tentu langkah BI menurunkan suku bunga dengan agresif tersebut disambut baik oleh banyak pihak. Penurunan suku bunga acuan BI diperkirakan akan diikuti oleh bunga-bunga yang lain, termasuk bunga pinjaman. Namun, harapan itu tak kunjung terwujud. Banyak kalangan yang merasa kecewa melihat kenyataan yang ada. Suku bunga pinjaman tidak turun secepat yang diharapkan.
Dengan suku bunga acuan BI pada level 7 persen, seharusnya suku bunga pinjaman berada pada kisaran 11,9-12 persen. Angka suku bunga pinjaman itu dihitung berdasarkan respons sistem perbankan negeri ini terhadap kebijakan moneter BI periode 2006-2008. Saat ini bunga pinjaman masih ada yang bertahan di atas 16 persen.
Dampak dari belum turunnya bunga pinjaman secara signifikan, sector riil kita menjerit meminta suku bunga pinjaman diturunkan dengan segera. Memang bunga yang tinggi membuat biaya bunga (cost of capital) menjadi tinggi. Hal ini juga membuat produk domestic sulit bersaing dengan produk Negara-negara lain yang bunga pinjamannya jauh lebih rendah dari bunga pinjaman disini. Daya saing produk kita pun tergerus dan sector manufaktur kita menjadi sulit untuk tumbuh lebih cepat.
Di Indonesia, misalnya, BI mengurangi monetary base dengan cara menerbitkan sertifikat Bank Indonesia (SBI). Penerbitan SBI akan mengurangi uang dari system perekonomian kita karena bank yang membeli SBI akan menyetorkan uang ke BI sebesar SBI yang dibelinya. Uang yang diterima BI tersebut akan disimpan di BI sehingga ada uang yang menjadi tidak dapat digunakan oleh perbankan kita. Suplai uang di system financial kita pun menjadi berkurang.
Bila dilihat dari suku bunga saja, BI memang tampak agresif melonggarkan kebijakan moneternya. Namun, kalau dilihat dari sisi suplai uang, kebijakan moneter BI sebenarya masih kurang ekspansif. Hal itu diperlihatkan dari monetary base yang tidak tumbuh, bahkan pertumbuhannya negative dalam beberapa bulan terakhir ini. Itu berarti BI tidak memompa cukup uang ke system agar suplai uang meningkat.
Salah satu penyebab terjadinya pertumbuhan monetary base negative adalah terjadinya arus modal keluar pada Oktober 2008 yang menyebabkan rupiah melemah secara signifikan waktu itu. Tampaknya BI melakukan intervensi dengan menjual dollarnya atau menyerap rupiah dari pasar. Hal ini mengakibatkan berkurangnya suplai uang di system finansial kita. Kenaikan itu diperburuk pula oleh kenaikan SBI outstanding (total jumlah SBI yang ada) sejak Oktober 2008, yang berarti BI menarik likuiditas dari system finansial kita lebih banyak lagi.
SBI outstanding terus mengalami kenaikan sejak saat itu. Pada September 2008 SBI outstanding berjumlah sekitar Rp 116 Triliun. Pada Juni 2009, SBI outstanding sudah naik menjadi sekitar Rp. 239 triliun. Pada saat bersamaan, keterlambatan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga turut memperburuk keadaan. Akibatnya, pendapatan pemerintah dari pajak ataupun dari surat utang Negara (SUN) tertahan di BI.
Pada Januari 2009 jumlah uang pemerintah di rekening pemerintah di BI Rp. 104 triliun. Jumlah ini meningkat menjadi Rp. 187 triliun yang ditarik keluar dari system finansial kita pada periode tersebut.
5. Sektor Perbankan
Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Halim Alamsyah mengatakan angka sementara kredit bulan kelima tahun ini menunjukkan tanda-tanda kenaikan walaupun belum secepat tahun lalu. Berdasarkan catatan bisnis, Halim pernah menyampaikan pertumbuhan kredit dalam 4 bulan pertama tahun ini hanya naik Rp.5 triliun. Artinya dalam sebulan realisasi kredit perbankan rata-rata hanya naik Rp. 1,25 triliun.
Dengan realisasi kredit Mei sebesar Rp.3 triliun berarti ada peningkatan hamper tiga kali lipat dibandingkan dengan rata-rata 4 bulan sebelumnya, sehingga pembiayaan perbankan dalam 5 bulan ini tumbuh sekitar Rp. 8 triliun.
Total kredit perbankan hingga Mei menjadi Rp. 1.361,6 triliun—termasuk pembiayaan penerusan. Namun, angka itu masih tercatat menurun jika dibandingkan dengan posisi November 2008 yang pernah mencapai titik puncak sebesar Rp. 1.371,9 triliun.
Halim menyampaikan kondisi likuiditas perbankan masih belum banyak berubah dibandingkan dengan posisi April, tapi secara tahunan dana pihak ketiga masih tumbuh 17%-18%. Dengan pertumbuhan sebesar 18% apabila dibandingkan dengan posisi Mei 2008 sebesar Rp. 1.505,6 triliun, dana pihak ketiga perbankan saat ini menjadi Rp. 1.776,6 triliun. Namun angka itu menyusut jika dibandingkan Maret 2008 yang sebesar Rp. 1.786 triliun.
6. Rasio Utang RI Turun 30%
Pada 1999 rasio utang Indonesia 100% karena saat itu pemerintah harus mengeluarkan surat utang baru sekitar Rp. 600 triliun untuk menyelamatkan perbankan nasional. Setelah itu rasio terus menurun. Menkeu mengatakan bahwa, semua pemerintahan, mulai dari Presiden Habibi, Gusdur, Ibu Megawati, hingga sekarang memiliki kebijakan yang sama, menurunkan rasio utang-utang.
Tahun 2003, rasio utang Indonesia terhadap PDB 61%, memasuki 2008 menjadi 33% terhadap PDB, dan tahun ini pemerintah berniat menurunkan menjadi 32%. Total utang pemerintah Indonesia saat ini hingga 29 Mei 2009 mencapai Rp. 1.700 triliun, yakni pinjaman luar negeri Rp. 732 triliun dan surat berharga Negara (SBN) Rp. 968 triliun, yaitu pinjaman luar negeri Rp. 730 triliun dan SBN Rp. 906 triliun.
DAFTAR PUSTAKA
Bisnis Indonesia, 17 Juni 2009 hal 7, “Boediono, demokrasi, dan ekonomi”
Bisnis Indonesia, 6 Juni 2009 hal 1, “IMF: Ekonomi RI membaik”
Bisnis Indonesia, 6 Juni 2009 hal 1, “Rupiah Tembus Level 9.000/US$”
Bisinis Indonesia, 8 Juni 2009 hal 2, “Indonesia Cepat Lalui Krisis”
Kompas, 15 Juni 2009 hal 21, “Kebijakan Moneter Belum Cukup Longgar”
Bisnis Indonesia, 3 Juni 2009 hal 4, “Kredit Mulai Tumbuh”



Perkembangan Ekonomi Indonesia


Perkembangan Ekonomi Indonesia
PERKEMBANGAN EKONOMI INDONESIA
Krisis nilai tukar telah menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Nilai tukar rupiah yang merosot tajam sejak bulan Juli 1997 menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam triwulan ketiga dan triwulan keempat menurun menjadi 2,45 persen dan 1,37 persen. Pada triwulan pertama dan triwulan kedua tahun 1997 tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8,46 persen dan 6,77 persen. Pada triwulan I tahun 1998 tercatat pertumbuhan negatif sebesar -6,21 persen.
Merosotnya pertumbuhan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari masalah kondisi usaha sektor swasta yang makin melambat kinerjanya. Kelambatan ini terjadi antara lain karena sulitnya memperoleh bahan baku impor yang terkait dengan tidak diterimanya LC Indonesia dan beban pembayaran hutang luar negeri yang semakin membengkak sejalan dengan melemahnya rupiah serta semakin tingginya tingkat bunga bank. Kerusuhan yang melanda beberapa kota dalam bulan Mei 1998 diperkirakan akan semakin melambatkan kinerja swasta yang pada giliran selanjutnya menurunkan lebih lanjut pertumbuhan ekonomi, khususnya pada triwulan kedua tahun 1998.
Sementara itu perkembangan ekspor pada bulan Maret 1998 menunjukkan pertumbuhan ekspor nonmigas yang menggembirakan yaitu sekitar 16 persen. Laju pertumbuhan ini dicapai berkat harga komoditi ekspor yang makin kompetitif dengan merosotnya nilai rupiah. Peningkatan ini turut menyebabkan surplus perdagangan melonjak menjadi 1,97 miliar dollar AS dibandingkan dengan 206,1 juta dollar AS pada bulan Maret tahun 1997. Impor yang menurun tajam merupakan faktor lain terciptanya surplus tersebut. Impor pada bulan Maret 1998 turun sebesar 38 persen sejalan dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi.

Kamis, 19 Mei 2011

ARTIKEL PENGGANGGURAN

ARTIKEL PENGGANGURAN
Pengangguran merupakan istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran biasanya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian,karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang,sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pengangguran dari faktor pribadi :
1. Faktor kemalasan
2. Faktor cacat atau umur
3. Faktor rendahnya pendidikan dan keterampilan

Faktor ini merupakan penyebab utama meningkatnya pengangguran di Indonesia, di antaranya:
a. Ketimpangan antara penawaran tenaga kerja dan kebutuhan
b. Kebijakan Pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat
c. Pengembangan sektor ekonomi
d. Banyaknya tenaga kerja wanita


Beberapa hal yang menyebabkan pengangguran antara lain:
a. Penduduk yang relatif banyak
b. Pendidikan dan keterampilan yang rendah
c. Angkatan kerja tidak dapat memenuhi persyaratan yang diminta dunia kerja
d. Teknologi yang semakin modern
e. Pengusaha yang selalu mengejar keuntungan dengan cara melakukan penghematan-penghematan.
f. Penerapan rasionalisasi
g. Adanya lapangan kerja yang dengan dipengaruhi musim
h. Ketidakstabilan perekonomian, politik dan keamanan suatu negara

Beberapa faktor yang menyebabkan seseorang tidak mendapat pekerjaan.
1. Kurangnya informasi
2. Tidak adanya sistem penerimaan publik
3. Sulit menerapkan kepintarannya dalam dunia pekerjaan

Hal inilah yang paling besar pengaruhnya dalam dunia kerja sekarang ini, kurangnya informasi dapat menjadi faktor yang paling berpengaruh, hal ini diakibatkan keadaan lingkungan tempat tinggal yang tidak memungkinkan untuk terus meng update informasi tentang lowongan pekerjaan.

INFLASI DAN DAMPAKNYA

MAKALAH TENTANG INFLASI DAN DAMPAKNYA
Definisi Inflasi
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga umum untuk menaik secara umum dan terus menerus atau juga dapat dikatakan suatu gejala terus naiknya harga-harga barang dan berbagai faktor produksi umum,secara terus-menerus dalam periode tertentu.Perlu diingat bahwa kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi.
Penyebab Inflasi, dapat dibagi menjadi :
Demand Side Inflation, yaitu disebabkan oleh kenaikan permintaan agregat yang melebihi kenaikan penawaran agregat
Supply Side Inflation, yaitu disebabkan oleh kenaikan penawaran agregat yang melebihi permintaan agregat
Demand Supply Inflation, yaiti inflasi yang disebabkan oleh kombinasi antara kenaikan permintaan agregat yang kemudian diikuti oleh kenaikan penawaran agregat,sehingga harga menjadi meningkat lebih tinggi
Supressed Inflation atau Inflasi yang ditutup-tutupi, yaitu inflasi yang pada suatu waktu akan timbul dan menunjukkan dirinya karena harga-harga resmi semakin tidak relevan dalam kenyataan
Penggolongan Inflasi

1. Berdasarkan Parah Tidaknya Inflasi
Inflasi Ringan (Di bawah 10% setahun)
Inflasi Sedang (antara 10-30% setahun)
Inflasi Berat ( antara 50-100% setahun)
Hiper Inflasi (di atas 100% setahun)
2. Berdasar Sebab musabab awal dari Inflasi
Demand Inflation, karena permintaan masyarakat akan berbagai barang terlalu kuat
Cost Inflation, karena kenaikan biaya produksi
3. Berdasar asal dari inflasi
Domestic Inflatuon, Inflasi yang berasal dari dalam negeri
Imported Inflation, Inflasi yang berasal dari luar negeri
Dampak Postitif Inflasi
Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi.
Orang yang mengandalkan pendapatan berdasarkan keuntungan, seperti misalnya pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi. Begitu juga halnya dengan pegawai yang bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat inflasi.
Bagi orang yang meminjam uang kepada bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan pada saat meminjam. Sebaliknya, kreditur atau pihak yang meminjamkan uang akan mengalami kerugian karena nilai uang pengembalian lebih rendah jika dibandingkan pada saat peminjaman.
Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong untuk melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar).


Dampak Negatif Inflasi

Pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita ambil contoh seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990, uang pensiunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 -atau tiga belas tahun kemudian, daya beli uangnya mungkin hanya tinggal setengah. Artinya, uang pensiunnya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang semakin menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung, dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena, untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.